Sabtu, 06 Oktober 2018

Cerpen, lengkap dengan unsur instrinsik dan ekstrinsik berikut contoh analisanya .


Cerpen

Cerpen merupakan karya sastra yang berbentuk prosa, bersifat naratif dari hasil pemikiran imajinasi maupun ilmiah.  Kata cerpen adalah akronim dari kata “cerita pendek”.

Ciri Ciri Cerpen
-      Berbentuk prosa atau teks uraian
-      Bersiffat naratif
-      Terdiri dari satu kisah
-      Terdapat alur, tokoh, penokohan dan setting
-      Terdapat 1000 hingga 10.000 suku kata
-      Dapat selesai dibaca dalam sekali duduk
-      Kisahnya ringan dan menghibur.
-      Tema berdasarkan keidupan manusia

Cerpen memiliki dua unsur dalam pembentukannya, yaitu unsur Instrinsik dan unsur Ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun yang ada didalam isi cerpen tersebut. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada diluar cerpen namun mempengaruhi isi cerpen.
Unsur intrinsik dalam cerpen terdiri dari :
1.   Tema
Tema adalah gagasan utama dalam sebuah cerpen. Unsur ini biasanya tidak dituliskan secara tersurat, namun hanya tersirat dalam sebuah cerpen. Kita bisa mengetahui tema dengan membaca keseluruhan isi cerpen.
2.   Tokoh
Tokoh adalah pemeran dalam sebuah cerita. tokoh terbagi menjadi 4 bagian yaitu :
a.    Tokoh Protagonis (tokoh utama)
b.    Tokoh Antagonis (tokoh kedua/lawan dari tokoh utama)
c.    Tokoh Tritagonis (tokoh ketiga / tokoh pelerai/tokoh penengah)
d.    Tokoh figuran (tokoh bawahan/tokoh pelengkap/tokoh pembantu)
3.   Penokohan
Penokohan adalah peranan atau perwatakan yang melekat pada masing-massing tokoh. Pemberian sifat/watak atau karakter tiap tokohnya dapat dibuat melalui tingkah laku, fikiran, ucapan, dan pandangan tokoh terhadap sesuatu.
Metode penokohan terdapat dua jenis, yaitu metode analitik dan metode dramatik.
a.     Metode analitik merupakan penokohan yang dipaparkan secara langsung seperti baik hati, pemarah, keras kepala, jahat, dan lain sebagainya.
b.     Sedangkan metode dramatik merupakan penokohan yang dipaparkan secara tidak langsung yaitu melalui dialog antar tokoh, penggambaran sifat dan perilaku atau cara fikir.
Selain dua hal diatas penokohan juga dibedakan menurut penampilan tokohnya yaitu protagonis dan antagonis.
a.     Protagonis adalah tokoh yang memerankan watak jujur, baik, suka menolong, dan lainnya yang baik baik.
b.     Antagonis adalah tokoh yang memerankan watak licik, tidak jujur, jahat, pembohong, dan lainnya yang buruk buruk.
c.     Tritagonis adalah tokoh yang menjadi penengah atau penghubung antara protagonis dan antagonis. karakter tritagonis mengarah sama seperti protagonis.
4.   Setting/ latar
Setting atau latar dalam sebuah cerita bisa berupa tempat, suasana, atau waktu. Terdapat empat unsur utama dalam setting/latar yaitu :
a.     Latar tempat, terkait tempat terjadinya peristiwa dalam cerpen
b.     Latar waktu, terkait kapan peristiwa tersebut terjadi
c.     Latar suasana, terkait suasana atau perasaan dalam suatu peristiwa
d.     Latar social, terkait dengan lingkungan social masyarakat yang ada dalam cerita.
5.   Sudut pandang
Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam sebuah cerita. Sudut pandang dapat dibagi menjadi 4, yaitu :
a.   Sudut pandang orang pertama
Dalam penggunaan sudut pandang orang pertama, posisi pengarang adalah sebagai tokoh utama dalam sebuah certa. Biasanya menggunakan akataa ganti orang pertama tunggal maupun jamak, yaitu : aku, saya, hamba, kami, dll.
b.   Sudut panndang orang ketiga
Dalam penggunaan sudut pandang orang ketiga ini, penulis memiliki posisi sebagi penyampai cerita. Yakni penulis menceritakan kisang orang lain dalam ceritanya. Biasanya ditandai dengan menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal maupun jamak. Contohnya : Nama orang/peran, dia, ia, mereka, dll.
c.    Sudut pandang obyektif
Dalam sudut pandang obyektif ini, si pengarang memposisikan dirinya sebagi pencerita dan pengamat terhadap semua jalan cerita setiap tokohnya meski dalam waktu dan tempt yang berbeda secara fisik.
Biasanya menggunakan kata ganti orang kedua dan ketiga, yaitu: nama orang/peran/tokoh, dia, ia , mereka, kalian, dll.
d.   Sudut pandang Mahakuasa
Dalam sudut pandang mahakuasa si pengarang mengetahui dan menceritakan semua kejadian dalam cerita baik secara bathin maupun lahir dari setiap tokoh. Pengarang seolah-olah memposisikan dirinya sebagai Tuhan.

6.   Alur atau plot
Alur adalah rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Pada umumnya rangkaian peristiwa dalam cerita itu diawali dari pengenalan tokoh maupun keadaan, timbul konflik, konflik mulai rumit, puncak konflik, konflik mulai reda dan diakhiri dengan penyelesaian konflik. Alur cerita dapat menggunakan berbagai pola, misalkan sebab-akibat, akibat-sebab atau yang lainya. Alur sering kali menitik beratkan pada jalannya sebuah certia berdasarkan waktu, yaitu, alur maju, alur mundur dan alur campuran.
a.    Alur Maju atau alur progresif, yaitu alur yang bergerak maju dengan tahapan cerita yang menceritakan kejadian secara berurutan, mulai dari awal, tengah dan akhir. Misalnya dari waktu pagi, siang, sore hingga malam. Atau bisa juga dari awal peristiwa, peristiwa berlangsung, akhir peristiwa.
b.    Alur Mundur atau alur regresif, yaitu tahapan cerita yang menceritakan keadaan masa sekarang, kemudian mengenang/mengingat kembali kemasa lampau.
c.    Alur Campuran atau alur gabungan, yaitu kombinasi dari alur maju dan alur mundur, tahapan dalam cerita bisa berurutan kemudian disisipi kisah masa lalu dan kembali kemasa sekarang atau selang seling dari alur maju dan mundur.
7.   Amanat
Amanat merupakan pesan yang  ingin disampaikan oleh pengarang melalui sebuah cerita. Amanat tidak dituliskan secara langsung dalam cerita, namun hanya disampaikan secara tersirat. Sehingga untuk memahami sebuah amanat yang terkandung dalam sebuah cerita dibutuhkan pemahaman dan pemikiran yang jernih. Ajaran/pesan tersebut dapat bersifat positif maupun negatif.
8.   Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah ciri khas pengarang dalam menyampaiakn ceritanya agar mudah dipahami dan memberikan hiburan bagi pembaca. Gaya bahasa ini berkaitan dengan penggunaan bahasa pokok itu sendiri seperti bahasa Indonesia, bahasa inggris, bahasa jawa, maupun bahasa yang lain. Selain bahasa poko juga dibumbui dengan berbagai seni berbahasa, misalnya majas, ungkapan, kata kiasan, puitis, dan lain-lan dengan tujuan cerita menjadi unik dan menarik

Unsur Ekstrinsik
Unsur Ekstrinsik adalah unsur yang berada pada area luar cerita, namun secara langsung mempengaruhi isi cerita tersebut.
Unsur-unsur Ekstrinsik itu antara lain adalah :
  1. Latar belakang Pengarang
Latar belakang pengarang juga merupakan hal paling berpengaruh terhadap pembuatan cerita. Latar belakang pengarang berupa :
1.    Biografi : biografi tentang riwayat hidup pengarang, tentang pendidikannya dan pengalaman kerja dan hidupnya.
Biografi pengarang ini sangat mempengaruhi ruh dalam sebuah cerita yang dibuatnya, karena secara tidak langsung pengetahuan dan pengalaman pengarang akan tersampaikan dalam sebuah cerita, baik secara tersirat maupun tersurat.
2.    Aliran sastra : seorang penulis memiliki aliran sastranya sendiri yang menjadi ciri khasnya. Yakni jenis cerita yang disukai pengarang.
3.    Kondisi Psikologis : Suatu keadaan psikologis pengarang yang berupa kondisi perasaan pada saat menulis sebuah cerita. Yaitu: sedang sedih, bahagia, haru, maupun yang lain.
b.    Social
Keadaan social yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi isi cerita. Penggambaran pola pikir pengarang dapat tersampaikan memalui sebuah kisah cerita yang diambil dari kejadian-kejadian dalam kehidupan yang dialami atau disaksikannya.
c.    Filsafat
Filsafat erat kaitanya dengan falsafah atau filosofi kehidupan. Oleh karena itu filsafat juga seringkkali mempengaruhi cerita yang disampaikan oleh pengarang melalui kisahnya.
d.   Ekonomi
Unsur ekonomi juga tidak lepas dalam mempengaruhi isi sebuah cerita, bahkan unsur ini sering dijadikan sebagai tema dalam cerita.
e.   Budaya
Unsur budaya sangat mempengaruhi cerita, karena setiap manusia tidak bisa lepas dari budaya. Maka dalam cerita yang tokohnya adalah manusia sudah otomatis terdapat budaya didalamnya, baik secara tersurat maupun tersirat.
f.     Agama
Agama adalah suatu keyakinan yang biasanya juga mempengaruhi isi dalam sebuah cerita yang bertemakan keagamaan. Unsur agama erat kaitanya juga dengan KeTuhanan, karena setiap agama pasti memilik Tuhan.
g.   Politik
Politik dapat diterjemahkan sebaagi cara untuk mencapai tujuan. Jadi unsur politik juga dapat mempengaruhi isi dalam cerita. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan politik pemerintahan saja, namun segala aspek politik yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.

Contoh cerpen dan analisa unsur instrinsik dan ekstrinsik

Perempuan Balian

Sebelum peristiwa malam itu yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.”
Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.
”Aku banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku menirukan ucapannya.
Tabiat ini kemudian dikait-kaitkan orang dengan almarhum ayahnya yang seorang balian, seorang dukun kesohor. Ayahnya dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-kampung jauh. Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak tertolong saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.
Dengan hidup hanya ditemani nenek dari ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam, penyendiri. Dan bila pun ia bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya, maka itu adalah cerita tentang mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular dan ayahnya.
***
Balai Atiran terang benderang. Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar panggung itu. Enam keluarga yang berdiam di dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu bilik masing-masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka itu layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu, menjadi tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang malam itu berbilas cahaya dari lima lampu petromaks.
Barisan-barisan tamu dari bukit-bukit jauh silih bergantian datang. Arak-arakan kecil itu sebagian datang dengan berpenerang obor, sinter, atau hanya mengandalkan terang langit di atas jalan yang membelah hutan pegunungan Meratus. Malam tak berbulan.
Kaki-kaki tak beralas menapaki jalan-jalan basah dibasuh sebelum menaiki tangga balai sepuluh undakan. Tua muda, laki perempuan, dan anak-anak. Di antara mereka ada yang membawa hasil kebun: kemiri, keminting, atau sayuran yang diberikan kepada ibu-ibu dan dara-dara yang bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor babi yang telah dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di dalam sebuah kuali besar.
Para undangan sudah mulai memenuhi ruangan balai. Duduk berlapis-lapis membentuk segi empat sepanjangan ruang balai yang polos, hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin balai yang menjangkau langit-langit tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di tengah-tengah balai yang dibiarkan terbuka, dengan segenap syarat-syarat upacara: menyan dan sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman. Seorang lelaki tua namun terlihat penuh wibawa duduk bersila. Kepalanya dibebat kain. Sementara mulutnya tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit jagung kering. Dialah damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad. Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan batang pohon tua dalam hutan terdalam. Damang Itat, begitulah orang-orang Meratus memanggilnya, yang malam itu akan menjadi pemimpin upacara aruh.
Segala berpusat pada lingkaran tari di tengah. Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot seperti kitaran angin limbubu. Diam yang mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba. Pada apa kata menjadi sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti melayang, membayang, tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran waktu yang terus beringsut susut.
Tiga tubuh terus berputar-putar dalam tarian. Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam rampak tabuh gendang dan denting gelang. Seperti suara alam yang tak pernah terduga. Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara yang berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan.
Balai itulah cahaya benderang satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit.
Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut kulit kering layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti ilalang terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna kulitnya kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup, meski juga sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan rongga dadanya yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari sapu lidinya menjentik pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti irama tari tiga balian.
Diisap buyu, penyakit menakutkan yang mengakrabi tubuh kecil tergolek di tengah-tengah balai. Tubuh yang diisap buyu adalah seperti merentangkan hidup di antara kematian. Darah, daging, dan air yang menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan kering, serupa hutan kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi bernama buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan segala; manusia.
Sudah satu bulan tubuh kecil itu tak berdaya dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga malam tiga balian seolah terbang menari-nari mengusir sang buyu yang betah menghuni tubuhnya. Sebuah pengobatan yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh jahat dalam tubuh si sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan dijalankan, roh jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa telah dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras, ayam, bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai. Dingin tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik lantai.
Tiga balian masih menari beriringan, berputar-putar dalam rampak gendang dan denting gelang yang tiada sepi.
Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria di dekat lingkaran upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya karena ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil sang ilah.
Seperti menyibak kegelapan malam, meredam guruh gemuruh suara gelang dan mantra tiga balian, seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti. Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan. Hanya perempuan itu, ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak, segala hidup. Ia terus berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang kurus panjang.
Aduhai,
Naik Kuda Sawang, sayang
Dibelai angin *)
Tak ada seorang pun yang tergerak menghentikan perempuan itu. Hingga akhirnya perempuan muda berambut panjang itu tersungkur ke lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh peluh. Bersamaan itu pula, anak lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah balai pelan-pelan bergerak seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit sang anak yang semula kering layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya telah mengalir air kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Kuning kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya terbuka, bercahaya. Bibirnya, yang meski masih tampak kering, perlahan berucap, ”Ayah….” Panggilannya pelan namun jelas.
Seketika saja, orang-orang menghambur ke depan, mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu langsung memeluk dan menciuminya. ”Anakku… anakku… anakku..,” ucap keduanya sembari menangis dalam kegembiraan mendapati sang anak telah terlepas dari maut.
Seolah tersadar, orang-orang kemudian mengalihkan perhatian kepada sosok perempuan muda yang masih tersungkur tak sadarkan diri di lantai. Sekejap saja mulut-mulut bergeremeng seperti sekumpulan laron terperangkap dalam botol.
”Siapakah dia?”
”Dari mana asalnya?”
Tubuh itu tetap sepi, tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai. Satu dua orang kemudian tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain, lalu mengangkat tubuh perempuan itu ke salah satu bilik balai dan merebahkannya ke atas kasur tipis.
***
Orang sekampung tidak pernah melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian, menjadi dukun. Tidak pernah sebelumnya, sejak nenek moyang, seorang perempuan menjadi balian. Paling tinggi ia hanya menjadi pinjulang, pembantu dukun laki-laki.
Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian.
”Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda. Aku, yang meski berseberangan meja dengan mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu.
”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok.
”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk kopi hitamnya.
Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka… celaka.”
Setelah lelaki tua itu agak jauh, seorang dari lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu karena tak mampu menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.”
Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.
Selama perjalanan meninggalkan kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu, benakku terus dihantui cerita tentang Idang perempuan balian, dan lelaki tua di warung yang mengabarkan akan datang bencana di kampung dan hutan mereka.
Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya.
*) Kutipan ”Syair Induang Hiling” dalam buku ”Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan” karya Anna Lowenhaupt Tsing, yang sekaligus mengilhami cerpen ini.

(dikutip dari: kompas. com)

Analisa unsur instrinsik dan ekstrinsik cerpen Perempuan Balian”
1.  Unsur instrinsk
a.    Tema : kehidupan tradisional masyarakat daerah
b.    Tokoh :
o   Protagonist = Idang
o   Antagonis = teman-teman Idang
o   Tritagonis = aku (pengarang)
o   Figuran = masyarakat desa
c.    Penokohan
Idang :penghayal, penyendiri, pendiam, dan baik hati
Teman-teman Idang : acuh dan tidak perduli
Aku : pengamat bersikap netral
Masyarakat desa  : percaya pada hal mistis, skeptic dan penakut
d.    Alur : Alur yang digunakan dalam cerita ini adalah alur campuran. Pengarang menceritakan tentang tokoh yang bernama Idang pada masa sekarang, kemudian menceritakan pada masa lalu dan menceritakan tentang kejadian pada malam yang belum lama terjadi, lalu kembali kepada masa sekarang saat pengarang sedang berencana untuk pulang dari kegiatan penelitiannya di desa tersebut.
e.    Lattar / setting
§  Latar tempat adalah di sebuah desa dekat pegunungan Meratus
§  Latar waktu adalah : diceritakan pada malam hari saat upacara balian berlangsung dirumah warga untuk menyembuhkan penyakit yang diderita anak kecil.
§  Latar suasana :
·         suasana mencekam saat upacara balian.
·         Suasana takut pada saat penari tidak berhasil menyembuhkan si kecil yang sakit.
·         Suasana haru saat si kecil yang sakit mulai sadar dan lolos dari kematian
·         Suasana cemas saat orang berprasangka bahwa Idang akan membawa petaka karena menjadi balian.
§  Latar social : masyarakat pedesaan yang masih percaya pada hal mistis dan cara tradisional untuk pengobatan.
f.     Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam cerita ini adalah sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama.
Yaitu : pada awalnya pengarang menceritakan sosok Idang dan kehidupan masyarakat desa. Namun pada bagian akhir cerita, pengarang menyampaikan tenang dirinya dengan menggunakan tokoh aku, yang sedang menyelesaikan tugas akhir penelitian.
g.    Gaya bahasa
Pengarang menggunakan bahasa Indonesia dengan dibumbui majas-majas. Seperti personifikasi, hiperbola, dll.
Contoh kalimat yang mengandung majas antara lain : Seperti suara alam yang tak pernah terduga. Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara yang berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan.
h.    Amanat :
o   Janganlah berprasangka buruk terhadap orang lain.
Pada cerita tersebut tergambarkan seorang gadis yang bernama Idang yang dianggap gila dan tidak waras, namun mampu menyembuhkan sorang anak yang sakit keras dengan doa dan mantra yang dialakukan.
o   Berpikirlah secara logis dan bijak sana dalam menghadapi segala situasi.
o   Bersemangat untuk mencapai tujuan dan terus berdoa.
Halini digambarkan dengan doa dan upacara balian yang terus dilakukan hingga titik darah penghabisan untuk penyembuhan.

2.  Unsur ekstrinsik
A.   Latar belakang Pengarang:
 Diakhir cerita tersebut di sampaikan bahwa pengarang adalah sorang yang mendapat tugas untuk meneliti buadaya daerah. Dalam hal ini pengarang bisa berasal dai akademisi atau yang lain.
B.    Budaya :
Budaya daerah yang masih melestarikan upacara Balian.
Masyarakat yang masih menggunakan berbagai sesaji dan mantra-mantra untuk mengusir roh jahat.
C.   Ekonomi
Adanya kegiatan transaksi jual beli disebuah warung kopi.
D.   Politik
Demi kepentingan pribadi seseorang membuat isu, menyudutkaan seorang gadis malang seperti Idang, bahwa dengan adanya Idang yang berhasil menjadi Balian akan membawa bencana bagi warga desa.


Semoga bermanfaat  ….

1 komentar: