Cerpen
Cerpen merupakan karya sastra yang berbentuk
prosa, bersifat naratif dari hasil pemikiran imajinasi maupun ilmiah. Kata cerpen adalah akronim dari kata “cerita
pendek”.
Ciri Ciri Cerpen
-
Berbentuk prosa atau teks uraian
-
Bersiffat naratif
-
Terdiri dari satu kisah
-
Terdapat alur, tokoh, penokohan dan setting
-
Terdapat 1000 hingga 10.000 suku kata
-
Dapat selesai dibaca dalam sekali duduk
-
Kisahnya ringan dan menghibur.
-
Tema berdasarkan keidupan manusia
Cerpen memiliki dua unsur dalam pembentukannya,
yaitu unsur Instrinsik dan unsur Ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun
yang ada didalam isi cerpen tersebut. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur
yang ada diluar cerpen namun mempengaruhi isi cerpen.
Unsur intrinsik dalam cerpen terdiri dari :
1. Tema
Tema adalah gagasan utama dalam sebuah cerpen. Unsur
ini biasanya tidak dituliskan secara tersurat, namun hanya tersirat dalam
sebuah cerpen. Kita bisa mengetahui tema dengan membaca keseluruhan isi cerpen.
2. Tokoh
Tokoh adalah pemeran dalam sebuah cerita. tokoh
terbagi menjadi 4 bagian yaitu :
a. Tokoh Protagonis (tokoh utama)
b. Tokoh Antagonis (tokoh kedua/lawan dari tokoh utama)
c. Tokoh Tritagonis (tokoh ketiga / tokoh pelerai/tokoh
penengah)
d. Tokoh figuran (tokoh bawahan/tokoh pelengkap/tokoh
pembantu)
3. Penokohan
Penokohan adalah
peranan atau perwatakan yang melekat pada masing-massing tokoh. Pemberian
sifat/watak atau karakter tiap tokohnya dapat dibuat melalui tingkah laku,
fikiran, ucapan, dan pandangan tokoh terhadap sesuatu.
Metode
penokohan terdapat dua jenis, yaitu metode analitik dan metode dramatik.
a. Metode
analitik merupakan penokohan yang dipaparkan secara langsung seperti baik hati,
pemarah, keras kepala, jahat, dan lain sebagainya.
b. Sedangkan
metode dramatik merupakan penokohan yang dipaparkan secara tidak langsung yaitu
melalui dialog antar tokoh, penggambaran sifat dan perilaku atau cara fikir.
Selain
dua hal diatas penokohan juga dibedakan menurut penampilan tokohnya yaitu
protagonis dan antagonis.
a. Protagonis
adalah tokoh yang memerankan watak jujur, baik, suka menolong, dan lainnya yang
baik baik.
b. Antagonis
adalah tokoh yang memerankan watak licik, tidak jujur, jahat, pembohong, dan
lainnya yang buruk buruk.
c. Tritagonis
adalah tokoh yang menjadi penengah atau penghubung antara protagonis dan
antagonis. karakter tritagonis mengarah sama seperti protagonis.
4. Setting/
latar
Setting
atau latar dalam sebuah cerita bisa berupa tempat, suasana, atau waktu.
Terdapat empat unsur utama dalam setting/latar yaitu :
a. Latar
tempat, terkait tempat terjadinya peristiwa dalam cerpen
b. Latar
waktu, terkait kapan peristiwa tersebut terjadi
c. Latar
suasana, terkait suasana atau perasaan dalam suatu peristiwa
d. Latar
social, terkait dengan lingkungan social masyarakat yang ada dalam cerita.
5. Sudut
pandang
Sudut
pandang adalah posisi pengarang dalam sebuah cerita. Sudut pandang dapat dibagi
menjadi 4, yaitu :
a.
Sudut
pandang orang pertama
Dalam penggunaan sudut pandang orang
pertama, posisi pengarang adalah sebagai tokoh utama dalam sebuah certa.
Biasanya menggunakan akataa ganti orang pertama tunggal maupun jamak, yaitu :
aku, saya, hamba, kami, dll.
b.
Sudut
panndang orang ketiga
Dalam penggunaan sudut pandang orang
ketiga ini, penulis memiliki posisi sebagi penyampai cerita. Yakni penulis
menceritakan kisang orang lain dalam ceritanya. Biasanya ditandai dengan
menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal maupun jamak. Contohnya : Nama
orang/peran, dia, ia, mereka, dll.
c.
Sudut
pandang obyektif
Dalam sudut pandang obyektif ini, si
pengarang memposisikan dirinya sebagi pencerita dan pengamat terhadap semua
jalan cerita setiap tokohnya meski dalam waktu dan tempt yang berbeda secara
fisik.
Biasanya menggunakan kata ganti orang
kedua dan ketiga, yaitu: nama orang/peran/tokoh, dia, ia , mereka, kalian, dll.
d.
Sudut
pandang Mahakuasa
Dalam sudut pandang mahakuasa si
pengarang mengetahui dan menceritakan semua kejadian dalam cerita baik secara
bathin maupun lahir dari setiap tokoh. Pengarang seolah-olah memposisikan
dirinya sebagai Tuhan.
6. Alur
atau plot
Alur adalah rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.
Pada umumnya rangkaian peristiwa dalam cerita itu diawali dari pengenalan tokoh
maupun keadaan, timbul konflik, konflik mulai rumit, puncak konflik, konflik mulai
reda dan diakhiri dengan penyelesaian konflik. Alur cerita dapat
menggunakan berbagai pola, misalkan sebab-akibat, akibat-sebab atau yang
lainya. Alur sering kali menitik beratkan pada jalannya sebuah certia
berdasarkan waktu, yaitu, alur maju, alur mundur dan alur campuran.
a. Alur
Maju atau alur progresif, yaitu alur yang bergerak maju dengan tahapan cerita
yang menceritakan kejadian secara berurutan, mulai dari awal, tengah dan akhir.
Misalnya dari waktu pagi, siang, sore hingga malam. Atau bisa juga dari awal
peristiwa, peristiwa berlangsung, akhir peristiwa.
b. Alur
Mundur atau alur regresif, yaitu tahapan cerita yang menceritakan keadaan masa
sekarang, kemudian mengenang/mengingat kembali kemasa lampau.
c. Alur
Campuran atau alur gabungan, yaitu kombinasi dari alur maju dan alur
mundur, tahapan dalam cerita bisa berurutan kemudian disisipi kisah masa lalu dan
kembali kemasa sekarang atau selang seling dari alur maju dan mundur.
7. Amanat
Amanat
merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui sebuah
cerita. Amanat tidak dituliskan secara langsung dalam cerita, namun hanya
disampaikan secara tersirat. Sehingga untuk memahami sebuah amanat yang
terkandung dalam sebuah cerita dibutuhkan pemahaman dan pemikiran yang jernih. Ajaran/pesan
tersebut dapat bersifat positif maupun negatif.
8. Gaya bahasa
Gaya
bahasa adalah ciri khas pengarang dalam menyampaiakn ceritanya agar mudah
dipahami dan memberikan hiburan bagi pembaca. Gaya bahasa ini berkaitan dengan
penggunaan bahasa pokok itu sendiri seperti bahasa Indonesia, bahasa inggris,
bahasa jawa, maupun bahasa yang lain. Selain bahasa poko juga dibumbui dengan
berbagai seni berbahasa, misalnya majas, ungkapan, kata kiasan, puitis, dan
lain-lan dengan tujuan cerita menjadi unik dan menarik
Unsur
Ekstrinsik
Unsur
Ekstrinsik adalah unsur yang berada pada area luar cerita, namun secara
langsung mempengaruhi isi cerita tersebut.
Unsur-unsur
Ekstrinsik itu antara lain adalah :
- Latar
belakang Pengarang
Latar belakang
pengarang juga merupakan hal paling berpengaruh terhadap pembuatan cerita.
Latar belakang pengarang berupa :
1. Biografi
: biografi tentang riwayat hidup pengarang, tentang pendidikannya dan
pengalaman kerja dan hidupnya.
Biografi
pengarang ini sangat mempengaruhi ruh dalam sebuah cerita yang dibuatnya, karena
secara tidak langsung pengetahuan dan pengalaman pengarang akan tersampaikan
dalam sebuah cerita, baik secara tersirat maupun tersurat.
2. Aliran
sastra : seorang penulis memiliki aliran sastranya sendiri yang menjadi ciri
khasnya. Yakni jenis cerita yang disukai pengarang.
3. Kondisi
Psikologis : Suatu keadaan psikologis pengarang yang berupa kondisi perasaan
pada saat menulis sebuah cerita. Yaitu: sedang sedih, bahagia, haru, maupun
yang lain.
b.
Social
Keadaan social yang terjadi dalam masyarakat dapat
mempengaruhi isi cerita. Penggambaran pola pikir pengarang dapat tersampaikan
memalui sebuah kisah cerita yang diambil dari kejadian-kejadian dalam kehidupan
yang dialami atau disaksikannya.
c. Filsafat
Filsafat
erat kaitanya dengan falsafah atau filosofi kehidupan. Oleh karena itu filsafat
juga seringkkali mempengaruhi cerita yang disampaikan oleh pengarang melalui
kisahnya.
d. Ekonomi
Unsur
ekonomi juga tidak lepas dalam mempengaruhi isi sebuah cerita, bahkan unsur ini
sering dijadikan sebagai tema dalam cerita.
e. Budaya
Unsur
budaya sangat mempengaruhi cerita, karena setiap manusia tidak bisa lepas dari
budaya. Maka dalam cerita yang tokohnya adalah manusia sudah otomatis terdapat
budaya didalamnya, baik secara tersurat maupun tersirat.
f. Agama
Agama
adalah suatu keyakinan yang biasanya juga mempengaruhi isi dalam sebuah cerita
yang bertemakan keagamaan. Unsur agama erat kaitanya juga dengan KeTuhanan,
karena setiap agama pasti memilik Tuhan.
g. Politik
Politik dapat
diterjemahkan sebaagi cara untuk mencapai tujuan. Jadi unsur politik juga dapat
mempengaruhi isi dalam cerita. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan politik pemerintahan
saja, namun segala aspek politik yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Contoh cerpen dan analisa unsur instrinsik dan ekstrinsik
Perempuan Balian
Sebelum peristiwa malam
itu yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras.
Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang
aneh. Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular besar menyusup
dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang menyusup dalam mimpiku.
Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.”
Idang memang tak
seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang hanya
pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap
melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.
”Aku banyak menemukan
makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman
sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan
dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa kesepian.
”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku menirukan
ucapannya.
Tabiat ini kemudian
dikait-kaitkan orang dengan almarhum ayahnya yang seorang balian, seorang dukun
kesohor. Ayahnya dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya
sanggup memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-kampung
jauh. Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak
tertolong saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat
Idang dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.
Dengan hidup hanya
ditemani nenek dari ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam, penyendiri.
Dan bila pun ia bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya, maka itu
adalah cerita tentang mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular dan
ayahnya.
***
Balai Atiran terang benderang.
Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar panggung itu. Enam keluarga
yang berdiam di dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu
bilik masing-masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka
itu layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu, menjadi
tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang malam itu
berbilas cahaya dari lima lampu petromaks.
Barisan-barisan tamu
dari bukit-bukit jauh silih bergantian datang. Arak-arakan kecil itu sebagian
datang dengan berpenerang obor, sinter, atau hanya mengandalkan terang langit
di atas jalan yang membelah hutan pegunungan Meratus. Malam tak berbulan.
Kaki-kaki tak beralas
menapaki jalan-jalan basah dibasuh sebelum menaiki tangga balai sepuluh
undakan. Tua muda, laki perempuan, dan anak-anak. Di antara mereka ada yang
membawa hasil kebun: kemiri, keminting, atau sayuran yang diberikan kepada
ibu-ibu dan dara-dara yang bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor
babi yang telah dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di
dalam sebuah kuali besar.
Para undangan sudah
mulai memenuhi ruangan balai. Duduk berlapis-lapis membentuk segi empat
sepanjangan ruang balai yang polos, hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin
balai yang menjangkau langit-langit tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di
tengah-tengah balai yang dibiarkan terbuka, dengan segenap syarat-syarat
upacara: menyan dan sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman. Seorang
lelaki tua namun terlihat penuh wibawa duduk bersila. Kepalanya dibebat kain.
Sementara mulutnya tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit
jagung kering. Dialah damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad.
Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan batang
pohon tua dalam hutan terdalam. Damang Itat, begitulah orang-orang Meratus
memanggilnya, yang malam itu akan menjadi pemimpin upacara aruh.
Segala berpusat pada
lingkaran tari di tengah. Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot seperti
kitaran angin limbubu. Diam yang mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba.
Pada apa kata menjadi sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti
melayang, membayang, tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam
kisaran waktu yang terus beringsut susut.
Tiga tubuh terus
berputar-putar dalam tarian. Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam rampak tabuh
gendang dan denting gelang. Seperti suara alam yang tak pernah terduga.
Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara
yang berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal
jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang
menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di
tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan.
Balai itulah cahaya
benderang satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang
sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat
upacara ritual untuk si sakit.
Tubuh kecil kurus anak
usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air. Hanya tulang-tulang
berbalut kulit kering layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang cepat
meretas seperti ilalang terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan ceruk
kehidupan. Warna kulitnya kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan
kilat hidup, meski juga sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin
melepaskan rongga dadanya yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk.
Jari-jari sapu lidinya menjentik pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti
irama tari tiga balian.
Diisap buyu, penyakit
menakutkan yang mengakrabi tubuh kecil tergolek di tengah-tengah balai. Tubuh
yang diisap buyu adalah seperti merentangkan hidup di antara kematian. Darah,
daging, dan air yang menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan kering, serupa
hutan kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi
bernama buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan segala; manusia.
Sudah satu bulan tubuh
kecil itu tak berdaya dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga malam tiga
balian seolah terbang menari-nari mengusir sang buyu yang betah menghuni
tubuhnya. Sebuah pengobatan yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh
jahat dalam tubuh si sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan
dijalankan, roh jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa
telah dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras,
ayam, bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai.
Dingin tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik
lantai.
Tiga balian masih
menari beriringan, berputar-putar dalam rampak gendang dan denting gelang yang
tiada sepi.
Seorang ibu muda yang
telah kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya
menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan
dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di
awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan
mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu
seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria di dekat
lingkaran upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya karena ia seorang ayahlah
yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka
didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah
mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil sang ilah.
Seperti menyibak
kegelapan malam, meredam guruh gemuruh suara gelang dan mantra tiga balian,
seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah upacara, menari-menari.
Mulutnya merapal mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun
juga, dengan diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti.
Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan. Hanya perempuan itu,
ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak, segala hidup. Ia terus
berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan mendentangkan gelang-gelang berat
di kedua tangannya yang kurus panjang.
Aduhai,
Naik Kuda Sawang, sayang
Dibelai angin *)
Naik Kuda Sawang, sayang
Dibelai angin *)
Tak ada seorang pun
yang tergerak menghentikan perempuan itu. Hingga akhirnya perempuan muda
berambut panjang itu tersungkur ke lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh
peluh. Bersamaan itu pula, anak lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah
balai pelan-pelan bergerak seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit
sang anak yang semula kering layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya
telah mengalir air kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh
tubuhnya. Kuning kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya terbuka,
bercahaya. Bibirnya, yang meski masih tampak kering, perlahan berucap, ”Ayah….”
Panggilannya pelan namun jelas.
Seketika saja, orang-orang
menghambur ke depan, mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu langsung
memeluk dan menciuminya. ”Anakku… anakku… anakku..,” ucap keduanya sembari
menangis dalam kegembiraan mendapati sang anak telah terlepas dari maut.
Seolah tersadar,
orang-orang kemudian mengalihkan perhatian kepada sosok perempuan muda yang
masih tersungkur tak sadarkan diri di lantai. Sekejap saja mulut-mulut
bergeremeng seperti sekumpulan laron terperangkap dalam botol.
”Siapakah dia?”
”Dari mana asalnya?”
Tubuh itu tetap sepi,
tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai. Satu dua orang kemudian
tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain, lalu mengangkat tubuh perempuan
itu ke salah satu bilik balai dan merebahkannya ke atas kasur tipis.
***
Orang sekampung tidak pernah
melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian,
menjadi dukun. Tidak pernah sebelumnya, sejak nenek moyang, seorang perempuan
menjadi balian. Paling tinggi ia hanya menjadi pinjulang, pembantu dukun
laki-laki.
Tapi malam itu, Idang,
seorang perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara.
Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah
dibaca para balian.
”Ini menyalahi adat.
Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa
menjadi seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki
tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda. Aku, yang meski berseberangan
meja dengan mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu.
”Tapi ia telah berhasil
menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok.
”Betul, Pak. Saya ikut
menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk kopi hitamnya.
Dengan wajah agak
memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang
balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan
ditimpa bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi balian.”
Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil
menggerutu, ”Celaka… celaka… celaka.”
Setelah lelaki tua itu
agak jauh, seorang dari lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu
karena tak mampu menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.”
Aku melakukan hirupan
terakhir kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera
memulai perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu
melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.
Selama perjalanan
meninggalkan kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu, benakku terus
dihantui cerita tentang Idang perempuan balian, dan lelaki tua di warung yang
mengabarkan akan datang bencana di kampung dan hutan mereka.
Entah, makna apa yang
harus aku pahami. Namun aku tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu
akan dibongkar oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari
perutnya.
*) Kutipan ”Syair
Induang Hiling” dalam buku ”Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan” karya Anna
Lowenhaupt Tsing, yang sekaligus mengilhami cerpen ini.
Analisa unsur
instrinsik dan ekstrinsik cerpen “Perempuan
Balian”
1.
Unsur instrinsk
a. Tema : kehidupan
tradisional masyarakat daerah
b. Tokoh :
o Protagonist = Idang
o Antagonis = teman-teman
Idang
o Tritagonis = aku
(pengarang)
o Figuran = masyarakat
desa
c. Penokohan
Idang :penghayal,
penyendiri, pendiam, dan baik hati
Teman-teman Idang : acuh
dan tidak perduli
Aku : pengamat bersikap
netral
Masyarakat desa : percaya pada hal mistis, skeptic dan
penakut
d. Alur : Alur yang
digunakan dalam cerita ini adalah alur campuran. Pengarang menceritakan tentang
tokoh yang bernama Idang pada masa sekarang, kemudian menceritakan pada masa
lalu dan menceritakan tentang kejadian pada malam yang belum lama terjadi, lalu
kembali kepada masa sekarang saat pengarang sedang berencana untuk pulang dari
kegiatan penelitiannya di desa tersebut.
e. Lattar / setting
§ Latar tempat adalah di
sebuah desa dekat pegunungan Meratus
§ Latar waktu adalah :
diceritakan pada malam hari saat upacara balian berlangsung dirumah warga untuk
menyembuhkan penyakit yang diderita anak kecil.
§ Latar suasana :
·
suasana mencekam saat upacara balian.
·
Suasana takut pada saat penari tidak berhasil menyembuhkan si kecil
yang sakit.
·
Suasana haru saat si kecil yang sakit mulai sadar dan lolos dari
kematian
·
Suasana cemas saat orang berprasangka bahwa Idang akan membawa
petaka karena menjadi balian.
§ Latar social :
masyarakat pedesaan yang masih percaya pada hal mistis dan cara tradisional
untuk pengobatan.
f. Sudut pandang
Sudut pandang yang
digunakan dalam cerita ini adalah sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang
orang pertama.
Yaitu : pada awalnya
pengarang menceritakan sosok Idang dan kehidupan masyarakat desa. Namun pada
bagian akhir cerita, pengarang menyampaikan tenang dirinya dengan menggunakan
tokoh aku, yang sedang menyelesaikan tugas akhir penelitian.
g. Gaya bahasa
Pengarang menggunakan
bahasa Indonesia dengan dibumbui majas-majas. Seperti personifikasi, hiperbola,
dll.
Contoh kalimat yang
mengandung majas antara lain : Seperti suara alam yang tak pernah terduga.
Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara
yang berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal
jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang
menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di
tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan.
h. Amanat :
o Janganlah berprasangka
buruk terhadap orang lain.
Pada cerita tersebut
tergambarkan seorang gadis yang bernama Idang yang dianggap gila dan tidak
waras, namun mampu menyembuhkan sorang anak yang sakit keras dengan doa dan
mantra yang dialakukan.
o Berpikirlah secara
logis dan bijak sana dalam menghadapi segala situasi.
o Bersemangat untuk
mencapai tujuan dan terus berdoa.
Halini digambarkan
dengan doa dan upacara balian yang terus dilakukan hingga titik darah
penghabisan untuk penyembuhan.
2.
Unsur ekstrinsik
A. Latar belakang Pengarang:
Diakhir cerita tersebut
di sampaikan bahwa pengarang adalah sorang yang mendapat tugas untuk meneliti
buadaya daerah. Dalam hal ini pengarang bisa berasal dai akademisi atau yang
lain.
B. Budaya :
Budaya daerah yang masih melestarikan upacara Balian.
Masyarakat yang masih menggunakan berbagai sesaji dan
mantra-mantra untuk mengusir roh jahat.
C. Ekonomi
Adanya kegiatan transaksi jual beli disebuah warung kopi.
D. Politik
Demi kepentingan pribadi seseorang membuat isu, menyudutkaan
seorang gadis malang seperti Idang, bahwa dengan adanya Idang yang berhasil
menjadi Balian akan membawa bencana bagi warga desa.
Semoga bermanfaat ….
suka sekali membaca cerpen
BalasHapusexcavator bekas murah